"Selamat Datang...di blognya Santri Nurul Huda al-Islami. kritik dan saran yang sifatnya membangun silahkan kirim pesan ke : redaksippnh@yahoo.co.id...........Selamat Datang...di ppnhpekanbaru.blogspot.com. blognya Santri Nurul Huda al-Islami. kritik dan saran yang sifatnya membangun silahkan kirim pesan ke :redaksippnh@yahoo.co.id "
Photobucket

Sabtu, 23 Oktober 2010

Komitmen Keaswajaan dan Kebangsaan

Ada dua hal yang menjadi karakter pokok dari Nahdlatul Ulama (NU) yaitu komitmen dan konsistensinya yang sangat tinggi terhadap ahlussunnah wal jamaah dan sekaligus terhadap kebangsaan. Tidak ada organisasi Islam di negeri ini bahkan di dunia Islam yang begitu gigihnya mendalami, mengajarkan dan mensiarkan Ahlussunnah wal jamaah kecuali NU. Prinsip itu tidak hanya ditegaskan dalam Angaraan dasar organisasi, tetapi dijadikan tema dalam setiap kegiatan, baik pengkaderan maupun dalam seminar sepajang organisasi ini ada. Sehingga seolah hanya NU yang ahlussunnah, karena identifikasi yang begitu gigih sehingga Aswaja menjadi identitas yang tidak terlepas dari identitas Nahdliyin.

Selain itu ada satu hal lagi yang menjadi watak khas NU yaitu kesetiaannya kepada paham kebangsaan. Sejak diakuinya paham kebangsaan secara resmi dalam Muktamar NU ke-36 di Banjarmasin, maka tema kebangsaan menjadi sangat penting bahkan kemudian menjadi prinsip dasar NU dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti halnya Aswaja, persoalan kebangsaan ini juga menjadi tema sangat serius dalam NU, sehingga hampir semua kegiatan yang dilakukan NU beserta organisasi serta lembaga yang bernaung di bawah NU, baik Ansor, Fatayat Muslimat, PMII, IPNU, juga lembaga-lembagas seperti Lembaga Dakwah, Lembaga Bahtsul Masail selalu mengangkat isu kebangsaan dalam setiap kegiatan mereka.

Ada sementara orang yang mengira bahwa sikap dan langkah NU beserta kader mudanya itu merupakan bentuk kejenuhan, kemandekan, sehingga terus mengulang tema yang sama dalam kegiatan yang berbeda selama bertahun-tahun hingga puluhan tahun. Kesalahpahaman itu sempat memunculkan kritik. Bersamaan dengan masuknya gagasan demokrasi, hak assi manusia, lingkungan hidup dan persoalan gender yang dibawa oleh funding agency, ternyata tidak mampu menggeser isu Aswaja dan kebangsaan.

Tema itu disuarakan bukan basa basi tapi diperjuangkan dengan penuh risiko. Salah satu isu kebangsaan terpenting adalah Pancasila sebagai dasar negara. Kapanpun NU terus mengangkat tema itu dan memperjuangkan, maka ketika orde baru menggunakan Pancasila sebagai sarana untuk menstigma kaum oposan sebagai tidak Pancasilais, sehingga Pancasila menjadi alat penindas yang efektif bagi orde baru, maka NU tetap menghormati Pancasila dengan terus menyuarakan prinsip-prinsip dan sila Pancasila. Dengan sikap itu tidak jarang NU dicap Musyrik oleh kalangan Islam garis keras, dan dicap konservatif bahkan dicap ortodoks oleh kaum liberal. Pancasila dengan gigih dipertahankan.

Demikian juga ketika isu kebangsaan yang diejawantahkan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijadikan senjata oleh orde baru untuk mengeliminir lawan politiknya, kalangan NU termasuk kalangan mudanya tetap gigih menyuarakan pentingnya NKRI, padahal saat itu NKRI menjadi wacana militer. Tetapi kalangan NU tetap membela dan mempertahankan NKRI, karena sadar betul bahwa gagasan itu dirumuskan untuk memjaga persatuan Indonesia, sejak negeri ini merdeka, sehingga bukan menjadi isu monopoli militer.

Ketika masa Reformasi yang berusaha mengubah seluruh sistem kehidupan masyarakat dengan mengubah seluruh dasar konstitusi termasuk dasar negara dan juga bentuk negara, yaitu upaya mengganti negara kesatuan menjadi negara federasi, NU dengan gigih mempertahankan bentuk NKRI, hal itu diambil dengan seksama karena jauh sebelumnya yakni tahun 1984 NU sudah menegaskan bahwa Negara NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai bentuk final. Apapun gerakaan sosial politik termasuk gerakan reformasi tidak boleh mengubah kesepakatan dasar ini.

Maka dalam suasana reformasi yang didominasi oleh isu kebebasasn, demokrasi halk asasi manusia dan kesetaraan gender, kalangan NU beserta kaum mudanya terus mengetangahkan isu kebangsaan dalam kegiatannya, baik yang bersifat sosial, termasuk yang berdimensi keagaamaan, seperti puasa, zakat dan sebagainya. Prinsip keaswajaan dan kebangsaan terus diulang yang terpampang dalam berbagai spanduk dengan segala nuansa dan variasinya, selau bersumber dari tema kebangsaan, seolah kebangsaan menjadi sumber inspirasi, sumber spirit bagi gerakan sehingga terus digali tak habis-habisnya dan dikumandangkan tak kenal lelah. Bagi orang lain mungkin membosankan tetapi bagi kader NU sebagai tema yang membanggakan.

Kelompok lain memang ada yang mengangkat tema ini, tetapi hanya kadangkala, dan bersifat fragmental, tidak ada konsistensi apalagi militansi. Baru kemudian ketika Kesbang Depdagri memberikan dana untuk menggarap isu kebangsaan, maka banyak pihak lain mulai menggarap isu ini, tetapi itu pun tidak cukup bergema. Tetapi kalangan NU dengan adanya dukungan dari Kesbang Depdagri itu semakin nyaring suaranya. Walaupun tanpa dukungan dari pihak luar NU terus mengumandangkan tema itu, tidak peduli walaupun bulan Mei hari Kebangkitan Nasional, tidak pula harus di Agustus hari kemerdekaan.

Ada tradisi yang perlu dicermati, bahwa tema yang diangkat ini hampir tidak pernah mengganakan istilah nasionalisme, tetapi selalu konsisten dengan istilah kebangsaan. Sebab kebangsaan dianggap jauh lebih luas dan lebih penting lagi lebih orisinal dan lebih berkait dengan persoalan manusia itu sendiri, ketimbang sebagai sebuah isu politik, sebagaimana nasionalisme. Nasionalisme memang selalu dikaitkan dengan kolonialisme, tetapi kebangsaan sudah hadir dan muncul jauh sebelum kolonialisme datang. Kebangsaan juga dianggap lebih akrab dan lebih ramah, kalau kebangsaan melingkupi yang ada sehingga keragaman atau kemajemukan terus terjaga. Sementara nasionalisme lebih membatasi yang ada dan menyeragamkan.

Memang banyak pihak yanag menyangka bahwa kebangsaan sebagai terjemahan nasionalisme, padahal tidak ia hanya sekadar padanan, sehingga atidak sama persis, karena itu hampir tidak pernah ada dikotomi apalagi ketegangan antara agama dan kebangsaan tidak seperti agama dan nasionalisme yang dalam sejarah pernah mengalami ketegangan luar biasa. Justru tampilnya NU sebagai Islam kebangsaan itulah yang menjadi penyeimbang antar agama atau Islam dengan nasionalisme selama ini, sehingga keduanya hidup berdampingan secara harmoni.

Untuk menjaga konsistensi semacam ini lembaga lain ketika memperkenalkan isu demokrasi, reformasi, hak asasi, kesetaraan gender memerlukan dana miliaran dollar, dan mengerahkan semua aparat yang ada, baik intelektual, kaum politisi dan funding agency. Semantara di NU hanya dimulai oleh para ulama dan kiai sementara kader mudanya terus mengambangkan dan mengelaborasinya sendiri secara suka rela. Konsistensi ini menunjukkan bahwa sikap politik dan kebijakan sosial NU yang sejalan dengan pemerintah atau pihak manapun, bukan berdasarkan pertimbangan praktis, tetapi memang berdasarkan pada prinsip ideologi yang mereka anut, yaitu berideologi kerakyatan dan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Aswaja. Konsistensi ini perlu terus dijaga sehingga NU bisa berperan sebagai penyangga keutuhan bangsa dan negara Indonesia. (Abdul Mun’im DZ)



sumber: nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=24925