Selasa, 14 Maret 2006 10:00
Cirebon, NU Online
Warga pesantren kembali mempersoalkan kelegalan bisnis Multi Level Marketing (MLM) menurut perspektif syariat Islam (fiqh). Bisnis di abad 21 ini dinilai tidak memenuhi azas kaflah, yakni perimbangan yang adil antara ”keringat” (usaha) dengan keuntungan yang diperoleh.
Persoalan MLM itu menjadi isu terpenting dalam acara bahtsul masa’il (pembahasan masalah penting) di Pondok Pesantren (Ponpes) Buntet, Cirebon, Jawa Barat, yang diikuti oleh para kiai dan santri senior dari Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan, Jum’at (10/3)
Acara itu merupakan salah satu dari rangkaian acara peringatan Haul para pendiri, pengasuh dan warga Ponpes Buntet, Cirebon, yang diselenggarakan pada 9-11 Maret 2006 lalu.
Selain soal keuntungan yang tidak adil antar-beberapa pihak yang terlibat di dalam bisnis MLM, sumber keuntungan dari bisnis ini tidak jelas atau majhul. Jika mengacu pada konsep ji’alah (sayembara), mestinya pemberi keuntungan adalah pihak penyelenggara, bukan pihak peserta atau pekerja, sebagaimana yang terjadi praktik MLM.
”Karena sekarang banyak model bisnis MLM, maka kesimpulannya masih maukuf (ditangguhkan, red),” kata Ketua Tim Perumus Bahtsul Masa’il KH Ahmad Tubagus Rifki.
Namun demikian, menurut kang Entus—panggilan akrab KH Tubagus Rifki—forum bahtsul masa’il telah mengarahkan agar warga nahdliyyin (sebutan untuk warga NU, red) tidak mengikuti bisnis MLM, karena berdasarkan kaidah dari madzhab Hanafi bahwa ”Yang dijadikan dalil adalah sesuatu yang kuat. Sementara amaliah (pengamalan) itu didasarkan pada prinsip kehati-hatian,” katanya.
Lebih lanjut, Kang Entus menjelaskan, masalah MLM sebenarnya sudah dibahas dalam pada bahtsul masa’il di Jawa Timur. Tetapi sampai saat ini masalah tersebut belum tuntas.
Bahtsul masa’il juga membahas masalah-masalah penting lain, seperti masalah percaloan. Percaloan dalam perdagangan bisa dibenarkan dengan mengacu pada prinsip wakalah (perwakilan) atau ijaroh (upah). Hanya keuntungan yang didapat para calo harus jelas atau transparan.
Adapun percaloan yang terjadi selama ini, seperti percaloan tiket kereta api sudah jelas-jelas masalah kriminal dan tidak masuk dalam pembahasan ini,” terang Kang Entus.
Ada yang ger-geran dalam bahtsul masa’il itu ketika membahas sah atau tidaknya jual-beli pulsa elektrik. Pulsa elektrik bisa dibenarkan jika mengacu pada konsep salam (pesanan) atau juga konsep bai’ul manafi’ (jasa). ”Ini kiai yang nanya ternyata tidak punya HP (hand phone, red),” para peserta tertawa.
Hal penting lain yang dikaji dalam bahtsul masa’il itu adalah soal penetapan harga. Bahtsul masa’il memutuskan bahwa menurut madzhab Syafi’i, masalah penentuan harga diserahkan pada mekanisme pasar.
”Memang dalam kenyataannya, harga tidak dapat dikontrol oleh pemerintah, tetapi mengikuti mekanisme pasar. Jika hal demikian memang terjadi, maka semua ’madzhab empat’ sepakat bahwa pemerintah harus turun tangan dengan segala cara apabila hal tersebut memberatkan masyarakat,” kata Kang Entus. (nam)
Cirebon, NU Online
Warga pesantren kembali mempersoalkan kelegalan bisnis Multi Level Marketing (MLM) menurut perspektif syariat Islam (fiqh). Bisnis di abad 21 ini dinilai tidak memenuhi azas kaflah, yakni perimbangan yang adil antara ”keringat” (usaha) dengan keuntungan yang diperoleh.
Persoalan MLM itu menjadi isu terpenting dalam acara bahtsul masa’il (pembahasan masalah penting) di Pondok Pesantren (Ponpes) Buntet, Cirebon, Jawa Barat, yang diikuti oleh para kiai dan santri senior dari Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan, Jum’at (10/3)
Acara itu merupakan salah satu dari rangkaian acara peringatan Haul para pendiri, pengasuh dan warga Ponpes Buntet, Cirebon, yang diselenggarakan pada 9-11 Maret 2006 lalu.
Selain soal keuntungan yang tidak adil antar-beberapa pihak yang terlibat di dalam bisnis MLM, sumber keuntungan dari bisnis ini tidak jelas atau majhul. Jika mengacu pada konsep ji’alah (sayembara), mestinya pemberi keuntungan adalah pihak penyelenggara, bukan pihak peserta atau pekerja, sebagaimana yang terjadi praktik MLM.
”Karena sekarang banyak model bisnis MLM, maka kesimpulannya masih maukuf (ditangguhkan, red),” kata Ketua Tim Perumus Bahtsul Masa’il KH Ahmad Tubagus Rifki.
Namun demikian, menurut kang Entus—panggilan akrab KH Tubagus Rifki—forum bahtsul masa’il telah mengarahkan agar warga nahdliyyin (sebutan untuk warga NU, red) tidak mengikuti bisnis MLM, karena berdasarkan kaidah dari madzhab Hanafi bahwa ”Yang dijadikan dalil adalah sesuatu yang kuat. Sementara amaliah (pengamalan) itu didasarkan pada prinsip kehati-hatian,” katanya.
Lebih lanjut, Kang Entus menjelaskan, masalah MLM sebenarnya sudah dibahas dalam pada bahtsul masa’il di Jawa Timur. Tetapi sampai saat ini masalah tersebut belum tuntas.
Bahtsul masa’il juga membahas masalah-masalah penting lain, seperti masalah percaloan. Percaloan dalam perdagangan bisa dibenarkan dengan mengacu pada prinsip wakalah (perwakilan) atau ijaroh (upah). Hanya keuntungan yang didapat para calo harus jelas atau transparan.
Adapun percaloan yang terjadi selama ini, seperti percaloan tiket kereta api sudah jelas-jelas masalah kriminal dan tidak masuk dalam pembahasan ini,” terang Kang Entus.
Ada yang ger-geran dalam bahtsul masa’il itu ketika membahas sah atau tidaknya jual-beli pulsa elektrik. Pulsa elektrik bisa dibenarkan jika mengacu pada konsep salam (pesanan) atau juga konsep bai’ul manafi’ (jasa). ”Ini kiai yang nanya ternyata tidak punya HP (hand phone, red),” para peserta tertawa.
Hal penting lain yang dikaji dalam bahtsul masa’il itu adalah soal penetapan harga. Bahtsul masa’il memutuskan bahwa menurut madzhab Syafi’i, masalah penentuan harga diserahkan pada mekanisme pasar.
”Memang dalam kenyataannya, harga tidak dapat dikontrol oleh pemerintah, tetapi mengikuti mekanisme pasar. Jika hal demikian memang terjadi, maka semua ’madzhab empat’ sepakat bahwa pemerintah harus turun tangan dengan segala cara apabila hal tersebut memberatkan masyarakat,” kata Kang Entus. (nam)